Aku
mendekap erat tas ransel dan travel bag yang keduanya menggembung
dipenuhi segala benda milikku untuk kubawa pulang. Ya, pulang dalam arti
sesungguhnya. Kini aku pulang, kembali ke kampung tempat aku
dilahirkan, tempat aku dibesarkan, tempat aku menimba ilmu-ilmu agama
dan pendidikan dasar sampai menengah sekaligus tempat aku meninggalkan
keluargaku di tengah ganasnya kemiskinan.
“Kau adalah satu-satunya dari sekian banyak penduduk di kampung ini yang memilih untuk belajar di kota, kau adalah anak yang pintar, kami semua menaruh harapan penuh kepadamu untuk bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi kampung ini”.
Empat tahun yang lalu, kata-kata itu diucapkan oleh seorang petani miskin sekaligus ayahku, seorang ayah terbaik yang pernah aku jumpai di dunia ini. Sebagai seorang petani yang hanya menggarap beberapa petak sawah rasanya ayah tidak mungkin bisa menyekolahkan aku dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi apa lagi aku masih memiliki dua orang adik yang harus bersekolah juga.
Glantei, adalah sebuah kampung yang memiliki hasil alam berlimpah, mulai dari pertanian, perkebunan dan pertambangan. Sayang, cuma pertanian dan perkebunan yang bisa digarap oleh masyarakat dikampungku, tidak dengan hasil tambangnya. Kampung Glantei, memiliki hasil tambang yang berlimpah terutama biji emas tapi sayang sekali tidak ada satupun masyarakat atau putra daerah yang mampu mengolahnya sendiri sehingga banyak perusahan asing yang mencoba untuk mencurinya secara tidak langsung dengan motif mengambil sample yang kemudia diteliti, kalau hasilnya bagus dan mengandung emas yang banyak maka mereka akan melakukan investasi dan membuat pabrik dikampung kami.
Kehadiran perusahaan asing membuat aku resah, bagai mana tidak, aktivitas mencurigakan yang mereka lakukan selama beberapa tahun ini sangat jelas terlihat. Mereka kerab membawa bongkahan batu emas dengan menggunakan helikopter ke tempat perusahaan induk mereka di kota, mereka harus menggunakan jalur udara karena medan untuk mencapai lahan pertambangan sangat jauh dan medannyapun sulit dijaugkau menggunakan transportasi darat makanya mereka mengunakan helikopter.
Dikampung kami, tidak banyak orang yang peduli terhadap aktivitas perusahaan asing itu, hanya aku saja yang sering protes-protes dan sesekali mempropokasi warga. Ayahku sering mengingatkan supaya aku tidak terlalu ikut campur dengan masalah pertambangan itu, apa lagi kalau aku adalah seorang perempuan, kata ayah. Namun aku tidak ambil pusing dengan apa yang ayah katakan karena jelas-jelas perusahaan itu sangat menjajah aku dan seluruh warga kampungku.
Hampir satu tahun aku tidak ambil pusing mengurusi masalah tambang itu lagi karena aku sedang disibukkan dengan kegitan di sekolah, aku sudah kelas 3 SMA dan akan mengikuti Ujian Nasional. Aku sedang dipusingkan kemana aku harus kuliah dan bagai mana aku bisa kuliah nantinya?. Aku ingin sekali belajar tentang pertambangan, aku ingin sekali memahami dan mengurus hasil tambang di daerahku ini, aku ingin putra daerah yang mengelolanya. Aku tetap yakin kalau Allah pasti akan memberikan jalan keluarnya.
Suatu malam, ketika kami sekeluarga makan diatas meja rotan buatan kakekku. Ayah bertanya, dengan suara serak-seraknya: “Rahmi, dimana kamu akan kuliah setelah ini?” aku bingung bukan kepalang, aku galau tingkat dewa pada saat itu. Ingin sekali aku mengatakan “aku ingin kuliah di teknik pertambangan, Ayah”. Tapi aku hanya bisa mengataknya dalam hati. Pertanyaan ayah hanya aku jawab sederhana, “aku tidak ingin kuliah, aku ingin dikampung saja membantu ayah dan ibu di sawah”. Ayah kaget, “bagai mana bisa kamu tidak kuliah, kamu pintar dan kritis” sahut ayah.
Makan malam kami berakhir dan tiba-tiba ada tamu yang datang ke rumahku sehingga percakapan aku dengan ayah putus tanpa ada kesimpulan. Aku sangat penasaran dengan ucapan ayah dimeja makan tadi, bagai mana mungkin ayah memaksaku untuk kuliah, dari mana dia mendapatkan uang. Setahuku biaya kuliah itu sangat mahal. Penasaran itu terus aku pendam, aku tidak pernah bertanya kepada ayah apa pasal ayah memaksaku untuk kuliah.
Di sawah, aku berjumpa dengan istrinya pak Geuchik, dia mengucapkan selamat kalau aku mendapatkan undangan untuk kuliah di ITB dan mendapatkan beasiswa bidik misi. Katanya, ibuku yang bilang kemarin sore ketika mereka pulang mengaji di sebuah pesantren di kampungku. Penasaranku semakin menjadi, saking senangnya, aku tinggalkan semua peralatan yang aku bawa ke sawah dan pulang kerumah sambil berlari, tidak peduli jalan yang aku lalui, semuanya aku anggap rata.
Sebelumnya aku memang telah mengikuti seleksi untuk mendapatkan undangan masuk perguruan tinggi di sekolahku, aku belajar sangat giat waku itu karena targetku adalah ITB karena aku ingin menjadi ahli pertambangan. Sampai dirumah, aku bertanya kepada ibu, “dari mana ibu tahu kalau aku lulus di ITB?”. Ibuku senyum-senyum, sangat jelas tampak manisnya bunga desa yang telah ayahku nikahi 17 tahun yang lalu. “Kemarin, kepala sekolahmu datang kerumah mengantarkan berkas undangan dan mengatakan kalau kamu lulus di teknik pertambangan ITB dan mendapatkan beasiswa bidik misi” jawab ibu. Senangnya aku bukan main. Rupanya, inilah dasar ayah memaksaku untuk kuliah. Ayah sudah tahu kalau aku bakal diterima di ITB dengan beasiswa. Ayahku memang misterius.
******
Aku kuliah di teknik pertambngan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Aku bangga bisa belajar di salah satu kampus terbaik di Indonesia, aku tidak pernah menyia-nyiakan sedikitpun kesempatan ini. Aku belajar sangat giat, tidak ada waktu yang terbauang sia-sia. Perjuangan ini ku lakukan supaya aku bisa menjadi ahli tambang yang hebat, tujuanku hanya satu; ingin memajukan kamung halamanku yang selama ini dijajah oleh asing.
Selama kuliah, aku juga bekerja part time di sebuah toko foto copy di dekat kampusku. Biarpun uang beasiswa yang aku dapat selama ini cukup untuk kebutuhan kuliah dan hidup selama di Bandung tetapi aku ingin mendapatkan uang lebih yang nantinya akan aku pergunakan untuk tiket pulang kampung setahun sekali. Setahun sekali aku selalu pulang kampung menjenguk keluarga dan memantau perkembangan aktivitas tambang di kampungku. Setiap kali aku pulang kampung saat itu pula motivasi aku untuk menjadi ahli tambah bertambah, aku ingin cepat sarjana.
Alhamdulillah aku lulus dari ITB dengan predikat cumlode, prosesi wisuda yang sangat megah yang memposisikan kedua orang tuaku pada tempat duduk paling depan membuat aku bangga dan terharu. Inilah hasil kerja kerasku selama ini, aku ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kedua orang tuaku dan juga masyarakat di kampungku. Aku berhasil menjadi sarjana teknik pertambangan, biarpun tidak begitu ahli tetapi aku banyak memahami masalah pertambangan karena selama kuliah aku dipercaya menjadi asisten dosen dan sering di ajak untuk melakukan penelitian terhadap tambang-tambang yang ada di Indonesia.
Selama minggu pertama aku di kampung, aku mulai mempelajari potensi tambang yang ada di kampungku ini, pertambangan yang dulunya dikelola oleh asing sekarang sudah berhenti, mereka tidak lagi beroprasi pasca pemerintah daerah di daerahku mengeluarkan peraturan tata kelola hutan. Daerah pertambangan yang dulunya merupakan hutan produktif sekarang sudah di alihkan menjadi hutan lindung dan tidak boleh ada aktivitas pertambangan yang bisa merusak hutan.
Aku kerap meneliti beberapa area hutan di kampungku yang tidak termasuk dalam hutan lindung, dan Alhamdulillah aku menemukan sumber emas yang luar biasa. Hasil temuan ini aku sampaikan kepada pak Geuchik dan beliau segera membuat rapat warga untuk menindak lanjuti temua ini. Kami sepakat membuat koperasi desa yang nantinya akan mengelola tambang yang kami temukan ini. Koperasi yang kami namakan Koperasi Ata Geutanyoe, beranggotakan semua warga yang berada di kampungku. Kami sepakat mengelola pertambangan emas itu secara tradisional. Aku dan pak Geuchik pernah berusaha menjumpai pemerintah daerah untuk meminta izin supaya kami bisa mengelola tambang itu secara profesional dan sedikit modern karena aku yakin banyak koneksi yang bisa membantu kami nantinya tapi sayangnya pemerintah belum mengizinkannya dengan berbagai macam alasan. Tidak mendapatkan izin bukanlah kekalahan telak bagi kami, kami tidak berhenti sampai disitu. Tidak bisa mengelola secara profesional namun kami masi bisa mengelolanya secara tradisional.
Untuk mendanai proyek tambang ini, semua biayanya ditanggung oleh warga kampung. Dana yang kami kumpulkan dari warga cukup untuk membeli semua perlengkapan pertambangan; mulai dari mesin udara, penerangan, peralatan galian, sampai mensin gelondongan. Aku bisa mendapatkan semua alat-alat itu dengan harga yang tidak terlalu mahal dengan memanfaatkan beberapa koneksi semasa aku kuliah dulu.
Sudah setahun kami menjalankan koperasi dan aktivitas tambang tersebut. Aku dipercaya oleh warga untuk memimpin koperasi itu. Alhamdulillah kami mendapatkan untung yang besar, keuntungan yang kami dapatkan dari hasil tambang bisa membuat semua masyarakat di kampungku sejahtera, tidak ada lagi warga yang kelaparan, tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah, tidak ada lagi rumah yang tidak layak huni, semua itu kami peroleh dari hasil kerja keras kami selam ini. Sekalipun aktivitas pertambangan tidak pernah berhenti setiap harinya namun aktivitas sawah dan kebun tetap aktif seperti biasanya sehingga penghasilan masyarakat tidak hanya dari tambang tetapi juga dari pertanian dan perkebunan.
[1 November 2013, M. Darmansyah Hasbi]
Pak Geuchik = Kepala Desa.
0 komentar:
Posting Komentar