[Belajar di rumah tanpa listrik] |
Saya pernah menjadi guru di sebuah desa terpencil di pedalaman Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terkemas dalam program Sarjana Mendidik di derah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), sebuah program Kemendiknas yang menempatkan ribuan guru di pedalaman Indonesia selama satu tahun.
Kabupaten Lembata dengan topografi yang berbukit membuat PLN sulit menjangkau daerah-daerah tertentu dengan berbagai kendala teknis di lapangan yang mereka hadapi. Saya yakin dan sangat percaya kalau PLN akan melakukan yang terbaik untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sesuai dengan mottonya tadi.
Desa Lerek yang mempunyai penduduk kurang lebih 167 KK hidup dalam kegelapan, sekalipun ada satu-dua rumah yang menggunakan panel surya dan mesin genset untuk penerangan tetapi tetap saja mereka tidak bisa menikmati listrik 24 jam layaknya orang kebanyakan.
******
PLN
memang belum masuk ke desa Lerek. Namun, mereka sudah punya PLN ala
kampung, sebuah mesin genset pribadi yang diposisikan sebagai penyuplai
listrik bagi rumah-rumah sekitar. Kerena daya listrik yang dimiliki oleh
mesin tersebut terbatas sehingga hanya berberapa rumah saja yang bisa
menikmati listrik yang hanya 3 jam saja itu. Setiap rumah yang ingin
mendapatkan penerangan harus membayar biaya solar sebesar Rp. 15.000,-
per lampu. Contonya rumah saya, menggunakan 2 lampu jadi harus membayar
Rp.30.000,- per bulannya. Lumanyan, bisa menikmati listri dari jam 18.00
s.d 21.00 WITA. Semua keperluan yang memerlukan listrik harus saya
kerjakan pada rentang waktu tersebut mulai dari memasak, mempersiapkan
bahan ajar, mengisi baterai handpone dan laptop.
Awal mula saya bertugas di desa Lerek, pada minggu-minggu pertama saya belum memutuskan untuk mencari sumber listrik karena ingin merasakan bagaimana hidup dan beraktivitas tanpa listrik sedikit pun. Rupanya sulit dan tidak menyenangkan sehingga saya memutuskan untuk memasok listrik ke rumah saya dengan menggunakan 2 lampu. Sumber listriknya sangat jauh, sekitar 200 meter dari rumah terdekat. Pemilik genset tidak menyedikan kabel untuk penyaluran, mereka hanya menyediakan jasa pemasangan saja sehingga semua keperluan listrik saya siapkan sendiri salah satunya adalah kabel listrik, selebihnya diurus oleh pemilik genset mulai dari pemasangan sampai perawatan.
Menjelang ujian nasional saya menggalakkan para siswa untuk belajar malam di sekolah atau dirumah-rumah guru, saya tidak pernah menganggap kalau tidak ada listrik membuat anak-anak tidak bisa belajar. Untuk belajar di malam hari, anak-anak memiliki listrik sendiri, mereka menamakannya PLN-ku yaitu Pelita Langsung Nyala-ku. Dengan PLN-ku ini-lah proses belajar-mengajar di malam hari kami lakukan di sekolah.
Anak-anak pernah bertanya: “pak guru, kapan desa kita masuk listrik?”, sebagai pendatang, saya tidak bisa menjawab kapan pastinya, namun saya mencoba menghibur mereka dengan mengatakan “PLN itu cinta anak sekolah, tidak lama lagi kita akan menikmati listrik 24 jam”. “horeeeeee...” teriak anak-anak.
Manajemen yang dilakukan oleh PLN ala kampung ini tidak jauh berbeda dengan PLN sungguhan, manajemennya bagus mulai dari setiap pelanggan harus membayar uang solar tepat waktu setiap bulannya. Jika terlambat, maka akan dilakukan pemutusan, tidak hanya itu, mereka juga mempunyai petugas khusus yang selalu membantu pelanggan yang mengalami masalah yang berhubunga dengan lisrik seperti kabel putus, konslet dan arus kurang maksimal. Semua itu mereka lakukan secara baik dengan pelayanan yang menyenangkan. Kalau saja pelayanan yang diberikan kurang maksimal maka pelanggan akan pindah ke mesin genset lain sehingga membuat pemilik gensat tadi merugi karena sepinya pelanggan.
Kesadaran pelanggan dalam membanyar uang iuran sangat bagus, ini juga didasari oleh bagusnya pelayanan yang diberikan oleh pemilik genset tersebut. Kalau satu malam saja listrik tidak menyala maka iuran listrik pun dikurangi Rp.1000,- setiap malamnya dan seterusnya.
Keharmonisan pelanggan dan pemilik genset sangat terlihat, ini semua didasari oleh adanya rapat dan kesepakatan antara pelanggan dan pemilik genset dalam semua proses kelistrikan sehingga adanya suatu kesamaan pemahaman dan tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Sebuah keharmonisan bisnis yang sangat luar biasa, semua pihak mendapatkan keuntungan. Pemilik genset mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, pelanggan mendapatkan keuntungan dalam bentuk jasa. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan kalaupun ada, maka akan segera dibuat rapat antar pelanggan dan pemilik genset untuk dicarikan jalan keluarnya sekecil apapun masalah itu.
PT PLN selama ini telah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh PLN ala kampus itu, berusaha memberikan yang terbaik bagi pelanggan dengan berbagai kemudahan, manajemen yang bagus pun mulai diterapkan dengan berbagai langkah cepat untuk mengatasi masalah yang didapat. Saya yakin, dengan manajemen yang bagus PLN akan semakin berjaya sehingga kita semua tidak lagi mendengar nada-nada miring yang ditujukan kepada PLN.
*******
Di
Kabupaten Lembata tepatnya di desa Watuwawer ada sumber Listrik yang
lumayan besar yang bersumber dari panas bumi. Bahkan, di desa itu telah
dibangun Pembangkit Listri Tenaga Panas Bumi (PLTP), sebagian proyeknya
sudah dibangun sejak lama tapi masi juga belum difungsikan karena belum
rampung 100 %, setidaknya sudah ada peralatan yang sudah dipasang.
Setahu saya, PLTP Lembata yang berada di Kecamatan Atadei merupakan
proyek Nasional. Kalau seandainya proyek ini jadi, maka seluruh
masyarakat Lembata dan sekitarnya akan menikmati listrik 24 jam nonstop.
Semoga saja proyek ini cepat selesai dan cepat beroprasi.
[M. Darmansyah Hasbi]
0 komentar:
Posting Komentar